Aku tidak bisa menulis apa-apa selain sebuah keraguan akan perkembangan kampus ini. Belum usai banjir dengan buruknya drainase, masih tingginya pencurian Ranmor akibat masih semrawutnya lahan parkir dan penebangan pohon yang seharusnya dipakai sebagai ruang terbuka hijau justru untuk ekspansi besar-besaran gedung. Tugasku sebenarnya hanyalah untuk menimba ilmu disini, hanya semudah itu saja. Tapi aku prihatin dengan mahasiswa yang harus membayar mahal beaya kuliah namun untuk wudhu saja harus antri panjang, untuk parkir motor saja harus adu cepat, untuk praktikum saja harus di gazebo-gazebo, untuk naik lantai 3 saja harus antri di tangga yang setiap pergantian jam kuliah harus berdesakan dan untuk berjalan didalam kampus saja harus menghirup asap-asap kendaraan yang makin parah saja. Aku hanya ingin berkomentar pada diriku saja tentang semua ini, semua ini hanyalah untukku sendiri.
Di kampus ini aku bukanlah siapa-siapa, aku hanyalah pemuda dari desa nan jauh disana. Pemuda yang tak begitu pintar, namun mampu melogika suatu lahan yang hanya 3 hektar dan dihuni 35.794 mahasiswa itu apakah ideal untuk suatu tempat menimba ilmu atau rumah kedua bagi mereka yang sering disebut : MAHASISWA. Bagaimana selanjutnya bila target 14.760 mahasiswa di tahun ini tercapai, aku lantas ingin melihat langsung bagaimana sepuluh ribu semut mampu hidup dalam 1 gelas air mineral yang tertutup. Mungkin aku hanyalah pemuda yang terlalu banyak acara, sehingga topik-topik yang tidak penting yang dibahas. Memang begitu kiranya diriku, yang mencoba menghitung 4x wisuda dalam 1 tahun dengan minimal 1000 mahasiswa dan membandingkannya dengan 14000 lebih masukan mahaiswa dan mengingat kata-kata “pemasukan lebih besar dari pengeluaran adalah baik” ya ya ya mungkin begitu pikiran bapak-bapak pejabat disana. Aku tidak tahu apa pikiran mereka dan aku memang tidak ingin tahu apa mau mereka, hanya saja aku tertimpa sial untuk mengetahui semua ini dan terpaksa harus mengkritik mereka walaupun diriku sendiri ditentang.
Setiap tahun menurutku pendapatan kampus ini bertambah besar, tapi sayangnya dana untuk kegiatan mahasiswa tetap sama saja dari tahun ke tahun. Aku bahkan sampai membayangkan ketika hampir 14000-an mahasiswa ini dibina pada awal masuk untuk pengenalan kehidupan kampus, bagaimana mengatur orang sebanyak itu dan bagaimana pula memberikan pelayanan yang terbaik pada jumlah besar itu. Kesejahteraan itu akan nampak pada sedikit saja jumlah namun mampu diratakan kemakmurannya, ketika jumlah yang besar dan terus dibesarkan itu belum mendapatkan haknya untuk mendapatkan kesejahteraan maka menjadi suatu kewajaran jika mereka meneriakkan rasa ketidakadilan dan penolakan!! Aku tidak bisa membayangkan jadinya bila fakultasku ini mengadakan jam kuliah malam akibat semakin terbatasnya ruang kuliah. Transportasi (mahasiswi yang tidak ada kendaraan, padahal gang tikus ditutup dan sekitar rumah kaca sangat gelap), Keamanan mahasiswa kampus, mengorbankan waktu istirahat mahasiswa dan peluang terjadinya pencurian kendaraan mahasiswa besar serta jam-jam kegiatan mahasiswa sore hari hingga malam (rapat kegiatan, event mahasiswa dll). Haha, mungkin begitulah analisa nakal pemuda sok dramatis ini, namun bila benar terjadi biarlah keadaan yang benar-benar berubah menjadi dramatis.
Sebenarnya siapa yang mau menjadi aku, tidak bakal ada yang mau. Lebih enak menjadi mahasiswa yang kalau selesai kuliah langsung pulang ke kost, setelah tidak ada kegiatan perkuliahan segera pergi dari kampus. Memang lebih enjoy menjadi mahasiswa yang apatis terhadap birokrasi kampus, sehingga pikiran mereka tidak akan pernah serius mengkritisi kebijakan. Memang lebih nikmat menjadi mahasiswa yang pasrah menerima segalanya yang diberikan kampus tercinta ini, yang penting tanggungan administrasi dan keuangan diselesaikan dan tinggal terima ijazah nantinya. Sungguh memang asyik menjadi akademisi sejati, tinggal ke perpus dan diskusi mata kuliah dan anti pada kegiatan kampus yang sepertinya sangat tidak penting. Tapi aku memutuskan untuk tetap disini, sebagai bagian tersendiri dari kehidupan mahasiswa yang umum itu. Aku adalah diriku, bukan garis ini garis itu dan aku sangat tidak peduli darimana aku berangkat. Yang terpenting bagiku adalah kebebasan untuk menjadi diriku dan menjalani apa mauku. Aku bukan milik kelompok manapun, aku bukan milik warna apapun, aku bukan siapapun. Aku adalah raja bagi diriku sendiri dan aku adalah penentang penindasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar