BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik substansi, kejadian, maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas, tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena perbedaan jenis kelamin melahirkan seperangkat konsep budaya.
Masyarakat lebih cenderung mengartikan gender sebagai jenis kelamin. Padahal gender lebih ditekankan pada tanggung jawab, peran dan fungsi dari perempuan dan laki-laki. Sehingga tidak heran apabila masih terdapat perdebatan, ketidakadilan, dan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Peran gender bersifat dinamis, dipenga-ruhi oleh umur (generasi tua dan muda, dewasa dan anak-anak), ras, etnik, agama, lingkungan geografi, pendidikan, sosial ekonomi dan politik. Oleh karena itu, perubahan peran gender sering terjadi sebagai respon terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi, budaya, sumberdaya alam dan politik termasuk perubahan yang diakibatkan oleh upaya-upaya pembangunan atau penyesuaian program struktural (structural adjustment program) maupun pengaruh dari kekuatan-kekuatan di tingkat nasional dan global.
Melalui penerapan pengarusutamaan gender, dapat ditingkatkan ketepatan desain perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program pembangunan pertanian , yang berarti tepat sasaran pemanfaat pembangunan (pelaku agribisnis), yaitu laki-laki dan perempuan, serta generasi tua dan muda. Tepat metode dan teknik pendidikan pembangunan pertanian (penyuluhan, pelatihan pendidikan formal dan non formal pertanian), teknik, metode dan pende-katan implementasi pembangunan pertanian dan tepat penciptaan serta pengembangan inovasi hasil-hasil penelitian yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi pelaku agribisnis.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengarusutamaan gender?
2. Mengapa pengarusutamaan gender diperlukan dalam pembangunan pertanian?
3. Bagaimana pengintegrasian pengarusutamaan gender dalam pembangunan pertanian?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, makalah ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Pengertian pengarusutamaan gender.
2. Pentingnya pengarusutamaan gender dalam pembangunan pertanian.
3. Pengintegrasian pengarusutamaan gender dalam pembangunan pertanian.
1.4. Manfaat Penulisan
Makalah ini dapat menjadi acuan atau referensi dalam mempelajari sosiologi pertanian, khususnya dalam pokok bahasan gender.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian-Pengertian tentang Gender
Pengarusutamaan gender (PUG) adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistimatis untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki kedalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Inpres No. 9 Tahun 2000).
Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran & tanggungjawab laki-laki & perempuan yang terjadi akibat dari dapat berubah oleh keadaan sosial & budaya masyarakat (Patilima,2005).
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki & perempuan untuk memperoleh kesempatan & hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, & kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut (Patilima, 2005).
Keadilan gender adalah suatu proses, kondisi dan perlakuan untuk menjadi adil terhadap laki-laki & perempuan (Patilima, 2005).
2.2 Pentingnya Pangarusutamaan Gender dalam Pembangunan
PUG bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender, yaitu suatu kondisi yang adil (equity) dan setara (equality) dalam hubungan kerjasama antara perempuan dan laki-laki (relasi gender). Melalui penerapan PUG, dapat ditingkatkan ketepatan desain peren-canaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program/ proyek/ kegiatan pembangunan pertanian , yang berarti:
1. Tepat sasaran pemanfaat pemba-ngunan (pelaku agribisnis): laki-laki dan perempuan, generasi tua dan muda.
2. Tepat metode dan teknik pen-didikan pembangunan pertanian (penyuluhan, pelatihan pendidikan formal dan non formal pertanian)
3. Tepat teknik, metode dan pende-katan implementasi pembangunan pertanian.
4. Tepat penciptaan dan pengem-bangan inovasi hasil-hasil peneli-tian yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi pelaku agribisnis.
Dengan demikian, menerapkan PUG berarti:
1. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya pemba-ngunan pertanian.
2. Mengakselerasi peningkatan status ekonomi dan kesejahteraan keluarga/ rumahtangga tani.
3. Mengakselarasi peningkatan kesejah-teraan masyarakat dan bangsa.
(Departemen Pertanian)
2.3 Pihak-Pihak yang Melaksanakan Pengarusutamaan Gender
Menurut Adriani (2009), pihak-pihak yang seharusnya melaksanakan pengarusutamaan gender adalah:
1. Lembaga-lembaga Pemerintah
Yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Perundang-Undangan, kebijakan, dan pelayanan publik.
2. Dunia Usaha
Yaitu dengan menciptakan poduk, lapangan keja dan jasa.
3. Lembaga Swadaya Masyarakat/ Organisasi Perempuan.
4. Organisasi Swasta
5. Organisasi Pofesi
6. Organisasi Keagamaan
1.5. http://www.deptan.go.id/setjen/roren/ragam/pengertian_gender.htm
1.6. http://id.wikipedia.org/wiki/Pengarusutamaan_gender
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
3.1 Pengertian Pengarusutamaan Gender
Gender masih sering disalahartikan oleh masyarakat kita. Gender sering diartikan sebagai jenis kelamin, sehingga kedua kata ini perlu dipahami pengertiannya secara benar. Jenis kelamin atau seks adalah penandaan individu manusia ke dalam kategori laki-laki dan perempuan berdasar karakteristik biologis (genital eksternal dan organ-organ seks internal), genetik (kromosom) dan hormon.
Gender diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, fungsi, dan status antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang lebih luas. Gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Peran gender bersifat dinamis, dipengaruhi oleh umur (generasi tua dan muda, dewasa dan anak-anak), ras, etnik, agama, lingkungan geografi, pendidikan, sosial ekonomi dan politik. Oleh karena itu, perubahan peran gender sering terjadi sebagai respon terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi, budaya, sumberdaya alam dan politik termasuk perubahan yang diakibatkan oleh upaya-upaya pembangunan atau penyesuaian program struktural (structural adjustment program) maupun pengaruh dari kekuatan-kekuatan di tingkat nasional dan global.
Pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi suatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan. Pengarusutamaan gender ditujukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender yang merupakan upaya menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan, pengakuan, dan penghargaan yang sama di masyarakat.
3.2 Pentingnya Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Pertanian.
Pengarusutamaan gender penting dalam pembangunan pertanian. Pengarusutamaan gender bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender, yaitu suatu kondisi yang adil (equity) dan setara (equality) dalam hubungan kerjasama antara perempuan dan laki-laki (relasi gender). Dengan adanya pengarusutamaan gender, akan tercipta suatu pembagian kerja dalam bidang pertanian yang adil dan setara bagi laki-laki dan perempuan dalam bidang petanian.
Melalui penerapan pengarusutamaan gender, dapat ditingkatkan ketepatan desain perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program pembangunan pertanian, yang berarti tepat sasaran pemanfaat pembangunan (pelaku agribisnis), yaitu laki-laki dan perempuan, generasi tua dan muda. Tepat metode dan teknik pendidikan pembangunan pertanian, yaitu penyuluhan, pelatihan pendidikan formal dan non formal pertanian. Tepat teknik, metode dan pendekatan implementasi pembangunan pertanian.Tepat penciptaan dan pengembangan inovasi hasil-hasil penelitian yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi pelaku agribisnis.
Oleh karena itu, menerapkan pengarusutamaan gender berarti meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya pembangunan pertanian. Penerapan Pengarusutamaan gender juga berarti mengakselerasi peningkatan status ekonomi dan kesejahteraan keluarga/ rumahtangga petani, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dan bangsa.
Ketidaksetaraan gender merugikan bagi kesejahteraan laki-laki dan perempuan karena memiliki dampak bagi kemampuan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Selain itu dapat mengurangi produktivitas sehingga menghambat upaya pengentasan kemiskinan. Akumulasi dari pembedaan yang diikuti dengan pembatasan peran sumberdaya manusia di rumah dan di pasar tenaga kerja, serta secara sistematis mengecualikan perempuan atau laki-laki dari akses ke sumberdaya, jasa publik ataupun aktifitas produktif, merupakan diskriminasi gender yang berarti mengurangi kapasitas suatu perekonomian untuk tumbuh serta mengurangi kapasitas untuk meningkatkan standar kehidupan.
Kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups) perlu diprioritaskan dalam pembangunan. Norma sosial dan budaya sebagian besar masyarakat Indonesia yang patriarkhi telah menempatkan laki-laki pada sektor publik dan perempuan di sektor domestik. Sebagian besar kegiatan pembangunan dikategorikan berada di sektor publik yang berdampak terhadap lebih rendahnya kesempatan perempuan untuk dilibatkan dalam berbagai kegiatan pembangunan.
Paradigma lama pembangunan pertanian yang bias gender telah menyebabkan kualitas sumberdaya perempuan dan generasi muda lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki dewasa (yang dianggap sebagai kepala keluarga/rumah-tangga). Secara kuantitatif jumlah penduduk perempuan lebih besar dari laki-laki. Laki-laki dan perempuan sebagai sumberdaya pembangunan mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama untuk berkonstribusi, menjadi partisipan dan memperoleh manfaat dari pembangunan.
3.3 Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Pertanian
Petani perempuan ternyata menjadi kunci pembangunan pertanian dan sebagai penyelamatan krisis pangan yang terjadi 2 tahun terakhir ini. Dalam laporan PBB yang dikeluarkan pada tahun 2008 menunjukkan bahwa pertanian menjadi sumber utama kehidupan untuk perempuan di banyak negara berkembang dan menjadi jalan keluar utama untuk mengatasi kemiskinan di keluarganya.Namun demikian banyak perempuan di berbagai wilayah pedesaan tidak mempunyai akses untuk input dan sumber daya produksi bagi pertaniannya serta pelayanan publik yang memadai. Mereka juga tidak mendapatkan insentive yang memadai dalam usahanya serta sangat rentan upaya produktivitasnya di pertanian. Padahal pertanian yang dihasilkan para perempuan ini menjadi tumpuan hidup dan kehidupan banyak keluarga miskin.
Gender di pertanian menjadi bukti nyata untuk mewujudkan agenda pembangunan pertanian di Indonesia. Perempuan menjadi kunci dalam produksi pertanian di negara berkembang. Dimana 32% dari mereka hanya bekerja sebagai buruh dan hidup dalam keterbatasan di areal pedesaan (70%). Perempuan menjadi sumber yang potensial tenaga kerja dalam produksi pangan yang dikonsumsi masyakat lokal. Pertanian di berbagai negara termasuk di wilayah Asia dan Afrika menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dan menjadi basis kehidupan di pedesaan. Lebih banyak proposi produksi pertanian dihasilkan oleh perempuan, sehingga perempuan menjadi agen yang cukup penting dalam ketahanan pangan dan kesejahteraan keluarga. Untuk itulah sudah sewajarnya perempuan mendapatkan prioritas dalam program pertanian dan mendapatkan dukungan dari kebijakan pembangunan pertanian karena dialah sumber daya dalam keberlanjutan kehidupan pedesaan dan pengurangan kemiskinan.
Seperti pada umumnya model pembangunan pertanian di banyak negara, Indonesia menggunakan model pembangunan yang berbasis tehnologi tinggi (revolusi hijau). Model inilah yang mengantarkan berbagai program pertanian dalam rangka mencukupi kebutuhan pangan yang besar karena pertumbuhan penduduk yang luar biasa. Sejak awal tahun 60 an model ini mulai diperkenalkan kepada petani dengan berbagai nama dari Insus, Supra Insus hingga revitalisasi pertanian dan contract farming. Peran petani sebagai pengusaha pertanian berubah hanya menjadi produsen ataupun buruh diladangnya sendiri. Petani dipaksa menggunakan sistem produksi yang baru dari benih, pupuk, pestisida hingga mesin yang mereka tidak mampu menguasainya. Ketergantungan ini lambat laun meminggirkan kehidupannya dari usaha tani, karena hasil yang diperoleh tidak seimbang dengan input yang digunakan diusaha taninya.
Kondisi ini juga menggiring perempuan keluar dari pertaniannya. Benih yang merupakan sumber utama kekayaan perempuan diambil alih perannya oleh perusahaan benih. Benih yang semula bisa disimpan, tidak lagi bisa dibudidayakan ulang, bahkan akan dianggap melanggar hak paten benih itu sendiri. Mesin pertanian juga semakin menghilangkan kesempatan perempuan mendapatkan sumber penghidupan bagi perempuan, karena mesin-mesin pertanian sering diciptakan tidak familier dengan fisik perempuan.
Hal ini kemudian diperparah dengan kebijakan program pertanian yang memprioritaskan kesempatan-kesempatan pengembangan kapasitas bagi petani laki-laki. Banyak pendidikan dan pelatihan, pembentukan kelompok tani, kelompok usaha lebih banyak diperuntukkan untuk laki-laki. Perempuan tidak disertakan dalam pendidikan dan pelatihan tentang pertanian, padahal secara budaya perempuan yang paling besar keterlibatannya dalam pertanian.
Minimnya informasi (pertanian) yang diterima perempuan membuat rendahnya tingkat pemahaman petani perempuan tentang penggunaan teknologi pertanian yang ditanamkan revolusi hijau. Sehingga perempuan yang lebih rentan terhadap keracunan akibat pemakaian pestisida dan bahan kimia lainnya dipertanian. Semakin berkurangnya penguasaan petani terhadap lahan pertanian pangan dan semakin tingginya biaya pengolahan pertanian mendorong perempuan keluar dari pertanian, menggiring perempuan keluar dari desa ke kota bahkan negara lain menjadi pekerja rumah tangga atau buruh murah diperkotaan.
Saat ini pertanian yang merupakan budaya kehidupan yang sulit dijalani. Tekanan ekternal dan pilihan untuk melepaskan budaya kehidupannya semakin hari semakin luar biasa. Sektor pertanian dianggap tidak memberikan kehidupan yang layak, banyak mendorong berubahnya mata pencaharian kehidupan budaya petani yakni pertanian ke sektor lain termasuk ke industri atau sektor kerja lain. Titik berat pembangunan ekonomi di Indonesia sejak dulu menekankan di bidang industri, walaupun diharapkan adanya keseimbangan pertumbuhan industri dan pertanian, ternyata dunia pertanian yang nota bene lebih banyak berlangsung di wilayah pedesaan dan menjadi gantungan hidup lebih dari 75% penduduk Indonesia tidak mengalami perkembangan yang menyenangkan.
Hal ini karena segala kebijakan dan subsidi negara lebih banyak ke bidang industri. Petani kesulitan dalam mengembangkan akses-akses sumber daya alam dan usaha tani yakni tanah dan air, sarana produksi hingga kredit. Pengusaha dan sektor bisnislah yang menerima keuntungan pembangunan pertanian yang selama ini ada, karena mereka menguasai akses tersebut.
Banyak pendekatan dan strategi yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak serta pemerintah untuk mendorong tumbuhnya sumber-sumber pendapatan keluarga petani di pedesaan tanpa harus mengubah budaya kehidupan yang sudah dikenalnya sejak lahir. Strategi yang banyak dikembangkan mencakup 2 hal yakni on farm dan off farm (non farm). Model on farm (dilahan pertanian) yang dikembangkan tidak harus kembali pada model tradisional yang sudah ada sejak dulu, tetapi perlu disesuaikan dengan situasi lingkungan yang sudah berubah, juga kebutuhan yang semakin besar.
Salah satu cara yang selama ini dikembangkan adalah dengan model pertanian terpadu (sustainable agriculture), dimana cara ini memadukan beragam cara agar petani perempuan punya kesempatan memperoleh pendapatan dari berbagai sumber. Seringkali ada anggapan bahwa lahan pertanian adalah lahan laki-laki dan lahan perempuan ada dipekarangan. Sehingga upaya memandirikan perempuan dalam akses terhadap produksi pertanian adalah lewat usaha non farm dipekarangan. Kondisi alam di Indonesia cukup beragam sumber daya alamnya menyediakan sumber pangan yang beranekaagam baik untuk kebutuhan protein, vitamin, mineral dan obat-obatan.
Mendorong upaya pemanfaatan sumber daya alam lokal tidak sekedar mengurangi ketergantungan impor, namun juga memberikan kesempatan bagi perempuan yang terhimpit antara petani dan kebijakan pertanian global. Di sisi lain upaya yang harus terus diperjuangkan adalah pola hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak adanya penghargaan bagi petani perempuan terhadap peran publik dan domestik. Keterlibatan mereka dalam berbagai peran tidak diikuti dengan pengembalian hak perempuan dalam memperoleh berbagai kesempatan untuk mengambangkan diri dan mendapatkan akses ekonomi, sosial dan politik, akan tetapi perempuan hanya ditempatkan sebagai komoditi dan konsumen.
Tantangan perempuan adalah menyingkirkan budaya yang mengidentikkannya sebagai makhluk kelas dua, dan terus berjuang memposisikan diri sebagai makhluk yang setara. Adanya perubahan situasi global yang memperngaruhi kondisi perbaikan nasib perempuan adalah adanya kebijakan politik yang memberikan perbaikan dengan diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Konvensi CEDAW ) dengan UU No. 7 tahun 1984 juga Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) . Situasi sekarang inilah yang seharusnya dipakai moment pijakan bersama untuk memberikan ruang bagi perempuan untuk bersama berjuang memperbaiki posisinya dan tampil aktif mengembalikan nilai-nilai kearifan lokal, kesetaraan dan keadilan bagi semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar