Pengikut

Senin, 20 September 2010

Kereta Api Penataran

Ada banyak hal yang mesti kita tahu, termasuk betapa kereta api dihormati lebih dari kedatangan seorang presiden siang kemarin di stasiun Tulungagung. Ialah kereta api Penataran (kelas ekonomi, tiketnya cukup 5 ribu saja) yang telah diisyaratkan akan datang dalam waktu 5 menit, kemudian seketika semua berdiri seakan menyambut tamu agung. Beratus manusia dikanan dan kiri hamparan besi rel yang memanjang. Itulah hal luar biasa yang membuat masinis melepas senyum kebanggaan dan yang tetap membuat penjaga loket tak kehilangan pekerjaan. Kemudian semua itu menjadikan penjaga rel bangga pada pekerjaannya, hingga ia harus mengenakan baju dan topi kebesarannya menghormat setiap kereta lewat dengan sikap klasiknya bak tentara bertemu Jendral Besar.

Kita harus tahu suatu hukum alam, bahwa pada musim liburan hari raya bertepatan dengan waktu para mahasiswa kembali ke habitat dan para pekerja kembali ke lingkungannya pastilah kereta menjadi primadona pilihan. Bukan karena apa, bagiku karena tiketnya yang murah (hehe ^_^) dan tidak harus mesti oper angkutan di setiap ganti kota/kabupaten baru. Nah, hasilnya adalah kita akan menjumpai kereta penuh sesak, seperti beras yang dimasukkan penuh kedalam ketupat lebaran. Kita akan menjumpai banyak manusia berdiri bergelantungan berpegangan pada pegangan seperti monyet yang biasa kita jumpai di kebun binatang. Pergeseran pengasong, peminta-minta yang memakan tempat dan bersodok-sodokan serta asap rokok tuan-tuan smoker menjadi pelengkap duka nestapa di kereta yang lajunya tak mampu lagi secepat biasanya. Nah itulah yang kemudian membuatku sadar, betapa kasihannya aku ini. Saat telah terjadi kram pada kaki akibat berjam-jam berdiri baru kusadari pilihanku kali ini dengan alasan tiket murah adalah KESALAHAN BESAR karena menyampingkan kenyamanan yang bisa membuat tulang-tulangku lepas dari tempatnya, kemudian otot-ototku lepas sendiri-sendiri seperti dawet panjang yang dibuang.

Tapi dibalik duka nestapa itu ada episode yang menyejukkan hati, ketika melihat nona-nona cantik menghabiskan tisunya mengelap keringat di kulit putihnya yang mulus dan bau wewangian parfum mereka yang sejenak membuatku bagai berada di kebun mawar milik Putri Diana di Inggris sana. Oh, bagaimana mata tidak termanjakan bila make up cantik dan busana trendy membalut kecantikan mereka. Tapi sayangnya imanku segera pulih dan fatamorgana surga dunia itu segera kusudahi, mengingat kata-kata guru agamaku Bunda Dra. Zahro Annisa “Pandangan pertama pada wanita itu halal, kedua ketiga dan seterusnya adalah haram hukumnya.” Ya, begitulah kata guru agamaku yang paling bisa membuat para preman sekaliber Sumanto si kanibal untuk bisa bertaubat. (maaf bu, bercanda kok…)

Kali ini entah mengapa aku biasa saja mendengar seruan peminta-minta yang dulunya ku kritisi tajam. Mungkin sudah biasa dalam ingatan ngiang telingaku, karena kali ini aku harus berfikir tentang hajat hidup orang lain yang mesti mendapat sesuap nasi untuk mempertahankan hidupnya. Jika aku menyuruhnya berhenti meminta-minta, kalau mereka mati kelaparan berarti aku sama saja telah menjadi pembunuh. Biar sajalah, tanggungjawab negara pada mereka fakir miskin dan anak terlantar yang katanya dipelihara Negara (Pasal 34 UUD ’45) toh belum maksimal. Biar sajalah mereka mempertahankan hidupnya dari recehan-recehan yang keluar dari saku dermawan sejati.

Banyak pengalaman yang kudapat, seperti misalnya ketika sempat aku memberikan kursiku untuk nenek tua yang tak mampu lagi kuasa menahan rasa lelah dengan tubuhnya yang sudah bergeetar. Pengalaman yang membanggakan bagiku, karena aku bisa merasakan secuil nikmat berbagi kepada yang membutuhkan walau bukan dalam bentuk materi dan meski hanya hal yang sangat sepele. Kelak aku ingin mengajarkan nilai kasih berbagi ini pada anak-anakku tatkala telah tiba waktuku menjadi seorang ayah. Dan pabila kelak aku mempunyai rezeki lebih aku ingin berbagi dengan mereka yang membutuhkan, aku paham betul bagaimana hidup serba kekurangan dan bagaimana sulitnya mendapatkan sesuap nasi karena memang aku ini adalah anak orang yang tak punya. Aku hanyalah orang miskin yang nekat, yang bermimpi sukses dan menjadi pemimpin bangsa kelak nantinya. Yang amanah, adil, patriotis, berdemokrasi kerakyatan dan mengamalkan ayat-ayat al-qur’an dalam setiap tindakan.
Sahabat, akhirnya keretaku terhenti di stasiun kotabaru. Tak terasa begitu cepat wisata hati ini berlalu. Aku segera bergegas dan memasang muka waspada agar tak kecopetan setelah turun dari kereta. Inilah malang, kota sejuta harapan. Kota yang akan membawaku pada masa depan yang kuimpikan selama ini. Dan nantikan kisahku selanjutnya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar