Pengikut

Sabtu, 14 Mei 2011

Peran Penyuluh dalam Pertanian

Studi Kasus : Kurang Tenaga Penyuluh, Petani Mengeluh

Cikarang Pusat 03/05/2011 - Minimnya tenaga penyuluh pertanian di Kabupaten Bekasi dikeluhkan para petani. Pasalnya, akibat tak memenuhi rasio ideal, sosialisasi mengenai pertanian, diantaranya terkait jadwal tanam, jadi tidak berjalan optimal.
Salah seorang petani, Sardi mengatakan saat ini masih banyak petani yang waktu tanamnya tidak sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Contohnya, pada pertengahan April lalu mestinya areal pertanian golongan tiga sudah mulai memasuki tahap penggelontoran air untuk musim tanam kedua.
Hanya saja, pada kenyataannya waktu penggelontoran baru bisa dilakukan setelah memasuki minggu terakhir atau mengalami keterlambatan. Alasannya, masih ada sawah di daerah golongan pertama dan dua yang mestinya sudah tandur justru akan memasuki masa panen.
“Penggelontoran air itu kan dilakukan secara bertahap, ketika daerah bawah belum panen, maka mau tidak mau air harus di tahan dulu. Walaupun mestinya sudah masuk jadwal penggelontoran,” ujarnya.
Sardi mengungkapkan kondisi itu salah satunya dikarenakan tidak seluruh petani mendapatkan sosialisasi jadwal dari penyuluh pertanian. Sehingga, para petani lebih mengandalkan perhitungannya sendiri.
Tidak sampainya jadwal tersebut, lanjut Sardi, juga dipengaruhi oleh minimnya jumlah tenaga penyuluh pertanian. Termasuk pula tidak idealnya rasio jumlah UPTD Pertanian yang ada.
“Dua desa dipegang oleh satu penyuluh, sementara idealnya satu desa satu penyuluh. Kemudian, lima kecamatan dipegang oleh satu UPTD pertanian. Sehingga, mestinya dilakukan pertemuan seminggu sekali menjadi sebulan sekali. Bagaimana akan terpantau,” ujarnya.
Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan Kehutanan dan Ketahanan Pangan (BP4KKP) Kabupaten Bekasi Daryanto mengakui kekurangan tenaga penyuluh. Permasalahan itupun diakuinya sudah disampaikan ke kementrian. “Memang saat ini satu penyuluh membawahi dua desa sedangkan idealnya satu desa satu tenaga penyuluh. Kita sudah usulkan terus ke kementrian untuk mendapatkan penambahan tapi saat ini belum bisa terlaksana,” katanya. (enr)


Pembahasan
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa pembangunan sumber daya manusia pertanian, termasuk pembangunan kelembagaan penyuluhan dan peningkatan kegiatan penyuluhan pertanian, adalah faktor yang memberikan kontribusi besar terhadap cerita keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia (Walgito, 2006). Khususnya dalam upaya pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 dan penurunan jumlah penduduk miskin perdesaan. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa investasi di bidang penyuluhan pertanian memberikan tingkat pengembalian internal yang tinggi. Oleh karena itu, kegiatan penyuluhan pertanian merupakan komponen penting dalam keseluruhan aspek pembangunan pertanian. Namun, ketika proses transformasi ekonomi menuju ke industrialisasi berlangsung, anggaran pemerintah untuk mendukung pembangunan sektor pertanian, termasuk penyuluhan pertanian, mengalami penurunan yang signifikan. Di samping harus menghadapi keterbatasan alokasi anggaran, menurut Mardikanto (1993) sejak akhir 1980-an kegiatan penyuluhan pertanian mengalami beberapa persoalan, antara lain:
a. Kelembagaan penyuluhan pertanian sering berubah-ubah, sehingga
kegiatannya sering mengalami masa transisi. Kondisi ini menyebabkan penyuluhan
pertanian di lapangan sering terkatung-katung dan kurang berfungsi. Semangat
kerja para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), yang status kepegawaiannya tidak
pasti, juga menurun.
b. Dibandingkan dengan kebutuhan, jumlah PPL yang ada kurang mencukupi,
demikian pula kualitas dan kapasitasnya. Umumnya pendidikan mereka hanya
setingkat SLTA sehingga kurang mampu mendukung petani dalam menghadapi persoalan pertanian yang semakin kompleks. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah
memang telah meningkatkan kemampuan mereka melalui berbagai pelatihan, namun
frekuensi kegiatan semacam ini cenderung masih kurang memadai.

Mulai tahun 2001, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah,
kewenangan di bidang penyuluhan pertanian dilimpahkan kepada pemerintah daerah (Herianto, 2005). Sesuai dengan tujuan otonomi daerah, pelimpahan kewenangan ini diharapkan mampu
meningkatkan kinerja penyuluhan pertanian. Sayangnya, secara umum kinerja penyuluhan pertanian justru cenderung makin memburuk, serta menunjukkan gejala kehilangan arah. Kendala yang dihadapi oleh penyuluhan pertanian dalam era otonomi daerah antara lain meliputi dan merupakan akibat dari:
a. Adanya perbedaan pandangan antara pemerintah daerah dan para
anggota DPRD dalam memahami penyuluhan pertanian dan peranannya dalam
pembangunan pertanian. Banyak daerah yang kemudian mengurangi peranan
kelembagaan penyuluhan pertanian menjadi sekedar sebagai lembaga teknis, tidak
berbeda misalnya dengan kelembagaan untuk perlindungan tanaman. Akibatnya, jenis
kelembagaan dan organisasi penyuluhan pertanian di daerah menjadi sangat beragam
dengan eselon yang beragam pula. Perbedaan eselon antara pejabat struktural (dinas)
dengan pejabat fungsional (penyuluhan) menjadi salah satu kendala untuk
melakukan koordinasi pelaksanaan program penyuluhan.
b. Kecilnya alokasi anggaran pemerintah daerah untuk kegiatan
penyuluhan pertanian. Hal ini antara lain mengakibatkan: Rasio antara jumlah kendaraan
operasional (sepeda motor) dengan jumlah PPL sangat rendah, akibatnya mobilitas
para PPL menjadi rendah pula. c. Ketersediaan dan dukungan informasi pertanian (teknologi, harga
pasar, kesempatan berusaha tani, dsb.) yang ada di BPP sangat terbatas, atau
bahkan tidak tersedia. Ironisnya, sejumlah koran, majalah dan leaflet banyak
terlihat menumpuk di Kantor Dinas Pertanian Kabupaten, tidak didistribusikan ke
BPP atau desa-desa.
d. Makin merosotnya kapasitas dan kemampuan manajerial penyuluh.
Akibatnya, frekuensi penyelenggaraan penyuluhan menjadi rendah. Program
penyuluhan yang disusun BPP lebih banyak hanya digunakan sebagai formalitas
kelengkapan administratif. Kalaupun dilaksanakan, proporsinya tidak lebih dari
50% dari sasaran program yang direncanakan.

Melihat kecenderungan yang terjadi saat ini, dapat dikatakan bahwa kegiatan penyuluhan pertanian menghadapi tantangan yang makin berat. Persoalan penyuluh tidak saja terletak pada faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah daerah yang umumnya tidak pro-penyuluhan pertanian, melainkan juga terletak pada faktor internal, khususnya yang berkaitan dengan profesionalisme dan paradigma penyuluhan yang dianut para penyuluh dan atau pemerintah daerah (Azwar, 2002). Terlepas dari berbagai persoalan tersebut, banyak pihak menyadari bahwa kegiatan penyuluhan pertanian masih sangat diperlukan oleh petani. Kondisi pertanian rakyat masih lemah dalam banyak aspek, sementara tantangan yang dihadapi semakin berat, jadi sebenarnya mereka justru memerlukan kegiatan penyuluhan yang makin intensif, berkesinambungan dan terarah (Hawkins, 2000). Untuk mewujudkan kondisi penyuluhan pertanian seperti ini memang tidak mudah, dan tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu singkat. Meskipun demikian, upaya-upaya perbaikan yang nyata perlu segera dilakukan, karena jika tidak, kinerja penyuluhan pertanian yang memang sudah mengalami kemunduran besar akan semakin memburuk.

Solusi

1. Penyuluhan Pertanian Melalui Internet
Seperti wacana pada tahun 2010 Kementerian Pertanian akan mendistribusikan 1.000 unit sarana Cyber Extension berupa komputer PC, printer dan modem kepada kelembagaan penyuluhan di tingkat provinsi, kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten/kota, dan Balai Penyuluhan tingkat kecamatan. Dengan tersedianya sarana Cyber Extension di Balai Penyuluhan tingkat Kecamatan, maka para penyuluh di lapangan dapat mengakses bahan informasi teknologi pertanian, khususnya teknologi tepat guna sebagai materi penyuluhan secara lebih cepat, murah dan efisien.

2. Memberikan Sekolah Penyuluh Lapang
Sekolah penyuluh lapang harus dilakukan segera karena jumlah penyuluh saat ini sangat tidak mencukupi. Bila hal ini hanya didiamkan saja makan justru akan berdampak buruk bagi perkembangan pertanian di Indonesia. Sasarannya adalah para pamong desa atau pemuda desa yang tidak punya banyak kesibukan untuk dididik dengan dibekali ilmu pertanian yang disesuaikan dengan perkembangan pertanian saat ini (Herianto, 2005). Maka dari itulah, sangat penting artinya sekolah penyuluh lapang guna mengisi kekosongan penyuluh. Karena masalah yang telah terajdi sejak lama ini harus segera diselesaikan dengan segera dan cepat.

3. Memberikan Jaminan (Gaji yang Layak) Kepada Tenaga Penyuluh
Kebanyakan para penyuluh pertanian menyoalkan masalah gaji yang sangat kecil, sehingga hal ini berdampak pada kecilnya minat seseorang untuk menjadi tenaga penyuluh pertanian. Anggaran pemerintah dalam bidang pertanian haruslah segera ditingkatkan guna dialokasikan dalam pengembangan sektor pertanian sebagai panglima pangan internasional. Apabila kesejahteraan penyuluh telah mampu dipenuhi maka akan semakin banyak minat seseorang khususnya lulusan perguruan tinggi bidang pertanian yang mau menjadi tenaga penyuluh pertanian.

Daftar Referensi :

Azwar. 2002. Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Ban, Van Den dan Hawkins. 2000. Komunikasi Bisnis, Buku Kedua. Edisi Bahasa Indonesia, Edisi Keenam. Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia.
Herianto. 2005. Komunikasi : Massa. Jakarta : Universitas Terbuka.
Mardikanto. 1993. Dasar-dasar Perilaku Individu. Surabaya : PT. Hanandu Gema Nusantara.
Mar’at. 1984. Suatu Konsep Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Radar Bekasi. 03 Mei 2011. Kurangnya Penyuluh, Petani Mengeluh. (Online). Diakses pada tanggal 08 Mei 2011
Teori Pembelajaran Sosial Bandura. 1977. Tim Dosen FISIP UGM, Yogyakarta.
Walgito. 2006. Komunikasi Dasar. UGM Press, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar