Pengikut

Minggu, 22 Mei 2011

Secuil Makna, Sajak Penuh Cinta

SAJAK PENUH CINTA

Pada setiap makna yang dihilangkan hakekatnya oleh manusia,
Disanalah perjumpaan nyata yang berakhir begitu saja.
Aku ingin mengenalmu dalam maya,
Namun aku percaya berujung nyata dan selamanya.
Ada yang tertidur di Slovakia utara,
Ada yang terancam di Palestina,
Ada yang hijrah dari Makkah ke Madinah.
Namun aku hanya ingin hidup selamanya di kotaku,
Bercinta dan hidup dengan wanita dari tempat yang sama.


Aku ingin mencintai,
Apalagi ketika aku tahu sulit mendapatkannya.
Itu lebih baik,
Daripada wanita yang menawarkan cincin disekitarku.
Ya, aku lebih memilih mengejar cinta daripadanya yang menawarkan.


Bila kamu tahu sayang,
Berapa hari yang aku pakai untuk memikirkanmu,
Bahkan dalam setiap jam dan menit itu aku mengingatmu.
Bila kamu tahu berapa panjang jarak kita,
Mungkin lebih dari 100.000 langkah.
Ya, sangatlah jauh bila harus kita tapaki jarak itu.
Namun atas nama cinta,
Akan kutapaki 99.999 langkah,
Sedangkan kamu hanya cukup berjalan satu langkah untuk bertemu denganku.


Bila saatnya telah tiba,
Kamu akan mengerti mengapa merpati rela kehilangan sayapnya,
Dan induk rela mati di pembaringan anak-anaknya.
Semua itu karena CINTA,
Dan cinta menuntut semua untuk berkorban lebih dari biasanya, sayang…

“Terinspirasi oleh sepasang pengemis tua (yang aku tahu setelah bertanya panjang lebar) bahwa ternyata mereka telah menikah 38 tahun silam, sebuah kisah cinta yang luar biasa. Mereka dulu punya rumah dan usaha, namun jatuh bangkrut dan tragisnya mereka tidak dikaruniai anak. Perjuangan penuh cinta dan kasih sayang tak tertandingi. Mereka bersama dalam suka dan duka, setia sepanjang masa…”

Rabu, 18 Mei 2011

Jangan Kuliah Kalau Tidak Kaya

"Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada tingkat dasar dan tingkat rendah. Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan"

-PASAL 26 Deklarasi HAM-



Ada banyak hal yang tak akan terlupakan bagi seseorang sepanjang hidupnya. Seperti tiap menit yang berlalu pada minggu ini bagi mereka siswa kelas 12 SMA. Pengumuman kelulusan UNAS dan SNMPTN undangan berturut-turut terpublikasikan. Ada yang menangis haru, ada yang tersenyum bangga, ada yang khilaf dalam kebahagiaan berlebihan dan ada pula yang tertunduk lesu menerima sebuah takdir “kegagalan”. Sejatinya kegagalan bukan akhir dari segalanya, hanya saja sebuah hal yang lumrah untuk menggapai suskes yang penuh makna. Ya, bukan sukses yang semata-mata sukses. Nilai bisa didapat, namun pemahaman konsep materi yang lebih dibutuhkan. Semoga kita semua tidak terjebak pada tujuan yang salah, tujuan yang salah itu adalah mendapat nilai terbaik dengan menghalalkan segala cara. Ya, menghalalkan segala cara bagi mahasiswa yang ingin mendapatkan IPK Cumlaude. Sesungguhnya nilai hanya akan mengantarkan kita pada gerbang kelulusan saja, sedangkan softskill akan menjadi bekal hidup sepanjang hayat. Albert Einstein berkata, “Bermain dengan rumus-rumus hanya akan menggiringmu dari A ke B, tapi dengan imajinasi kamu dapat menjamah segalanya”.

Hari ini setiap dari mereka yang telah dinyatakan lulus SMA sedang menjalani usaha paling menentukan dalam hidupnya. Ada yang terus berupaya untuk lulus ujian akademi, universitas, institut dan sebagianya. Adapula mereka yang telah lulus namun dari keluarga tidak mampu namun gagal mendapat beasiswa ke perguruan tinggi. Semua itu sungguh nyata, termasuk mereka yang mampu dalam bidang akademik tetapi hanya karena faktor financial tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Seuah ironi, rupanya keterjangkauan pendidikan sedang terlupakan saat ini. Kita harus ingat bahwa memperoleh pendidikan yang layak adalah hak untuk seluruh rakyat Indonesia. Memang benar bila ada kata bijak mengatakan : Jangan pernah tanyakan apa yang Negara bisa berikan padamu, tapi tanyakan apa yang bisa kamu berikan untuk negaramu. Hal tersebut haruslah dibedakan pada bagian-bagian tertentu. Bagi TNI, POLRI dan PNS slogan tersebut sangat ampuh walaupun kenyataannya mereka dapat gaji dari Negara.

Kita tidak boleh melupakan bahwa APBN bidang pendidikan adalah sebesar 20 % dan merupakan pos anggaran terbesar bila dibandingkan dengan seluruh departemen yang ada. Saya mengapresiasi beasiswa bidikmisi yang diberikan oleh pemerintah kepada 20.000 pemuda terbaik bangsa untuk mendapatkan beasiswa gratis kuliah hingga S1 dan tiap bulan mendapat uang sebesar Rp 600.000,- sebagai biaya hidupnya. Namun 20.000 beasiswa itu rupanya masih diperebutkan dengan sangat sulit, karena pada nyatanya mereka yang kurang mampu yang ingin melanjutkn ke perguruan tinggi sangat banyak. Tentu saja tidak bisa mengakomodir semuanya. Disini yang patut dipertanyakan adalah mahalnya biaya perguruan tinggi. Kapitalisasi perguruan tinggi itu berkedok otonomi kampus, semacam hak universitas untuk menentukan biaya kuliah kampusnya dan parahnya banyak kampus yang tidak memberikan transparansi anggaran.

Beruntunglah mereka yang telah mendapat beasiswa perguruan tinggi, namun saya yakin mereka yang telah mendapatkan beasiswa perguruan tinggi hingga S1 gratis (Bidikmisi, Etos dll) juga merasa iba bila mendapati rekannya yang mampu secara akademik namun tumbang dalam segi financial. Apakah ini sebuah kapitalisasi yang sesungguhnya? Tentu saja pandangan kritis mahasiswa mengarah kesana. “Kami ada disini untuk turun aksi, menuntut pendidikan yang lama makin mahal, katanya pendidikan, nyatanya pemerasan, lawan! Lawan! Semua penindasan” Lagu itu pernah berdengung pada aksi aliansi mahasiswa baru pad isu mahalnya SPP SPFP Universitas Brawijaya Malang. Dan saya yakin lagu-lagu perjuangan aktivis yang turun ke jalan itu akan terus berdengung setiap tahunnya dan hanya akan berakhir ketika 5.000 mahasiswa kritis saja berdiri dalam sebuah barisan gerakan mahasiswa perubahan dengan tuntutan : penghapusan kapitalisasi perguruan tinggi dan keterjangkauan biaya pendidikan.



Katanya Entrepreneur University, kok masih meras uang mahasiswa sich??? Apa tidak malu??? Semoga Allah senantiasa memberikan pencerahan dan hidayah-Nya kepada bapak-bapak kami di gedung megah bernama “REKTORAT” tidak hanya disini, Universitas Brawijaya, namun juga di seluruh Indonesia… Amien





CATATAN PENTING :

Bunyi Pasal 26 Konvensi HAM sejalan dengan tujuan penyelenggaraan negara, yaitu salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945 aline IV). Tujuan tersebut secara rinci dirumuskan dalam Pasal 31 UUD 1945 yang telah diamandemen, yang menyatakan:

1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5. Pendidikan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinnggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Bunyi Pasal 31 UUD 1945 tersebut kemudian diperjelas lagi dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 5 UU Sisdiknas tersebut menyatakan:

1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
5. Setiap warga Negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatan pendidikan sepanjang hayat.

Sedangkan ayat 1 pasal 6 UU No.20/2003 menyatakan bahwa: Setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar

Selasa, 17 Mei 2011

FENOMENA BOM RUANG

Malam ini akan diumumkan penerima beasiswa bidikmisi 2011 (sesuai jadwal dikti), beberapa minggu lalu telah diumumkan PSB non akademik. Sebentar lagi SNMPTN undangan diumumkan tanggal 18 mei 2011 (besok). Tanggal 30-31 SNMPTN nasional. SPKS utul, SPKS non utul, SPKIns dan SPMK masih ada.
Maka, bila 15 ribu mahasiwa baru tahun ini masuk dapat dibayangkan kampus ini seperti" FENOMENA BOM RUANG" yang dapat meledak sewaktu2.

Kemudian saya bertanya kepada mahasiswa FP, apa komentar anda tentang hal ini.
1. Menurut anda apakah sudah memadahi infrastruktur di FP untuk menerima tambahan mahasiswa baru di tahun 2011 mendatang?
2. Perlukah di tahun 2011 mendatang Fakultas Pertanian menambah kuota mahasiswa baru?
3. Bagaimanakah pengelolaan lahan parkir di Fakultas Pertanian hingga saat ini?
4. Apa pendapat anda tentang fasilitas perkuliahan dan praktikum selama ini?
5. Kualitas pengajar secara umum, bagaimana pendapat anda tentang hal itu?
6. Terkait dengan transparansi keuangan kemahasiswaan, apakah anda tahu dipergunakan untuk apa saja uang yang anda bayarkan dan bagaimana penghitungan SPP SPFP proporsional?

NB
Sumber : Bag. Humas Rektorat UB
Strata 1 : 13.200 mahasiswa
SAP : 250 mahasiswa
Vokasi : 110 mahasiswa
Pasca Sarjana : 1300 mahasiswa
TOTAL : 14.760 mahasiswa

Sabtu, 14 Mei 2011

Peran Penyuluh dalam Pertanian

Studi Kasus : Kurang Tenaga Penyuluh, Petani Mengeluh

Cikarang Pusat 03/05/2011 - Minimnya tenaga penyuluh pertanian di Kabupaten Bekasi dikeluhkan para petani. Pasalnya, akibat tak memenuhi rasio ideal, sosialisasi mengenai pertanian, diantaranya terkait jadwal tanam, jadi tidak berjalan optimal.
Salah seorang petani, Sardi mengatakan saat ini masih banyak petani yang waktu tanamnya tidak sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Contohnya, pada pertengahan April lalu mestinya areal pertanian golongan tiga sudah mulai memasuki tahap penggelontoran air untuk musim tanam kedua.
Hanya saja, pada kenyataannya waktu penggelontoran baru bisa dilakukan setelah memasuki minggu terakhir atau mengalami keterlambatan. Alasannya, masih ada sawah di daerah golongan pertama dan dua yang mestinya sudah tandur justru akan memasuki masa panen.
“Penggelontoran air itu kan dilakukan secara bertahap, ketika daerah bawah belum panen, maka mau tidak mau air harus di tahan dulu. Walaupun mestinya sudah masuk jadwal penggelontoran,” ujarnya.
Sardi mengungkapkan kondisi itu salah satunya dikarenakan tidak seluruh petani mendapatkan sosialisasi jadwal dari penyuluh pertanian. Sehingga, para petani lebih mengandalkan perhitungannya sendiri.
Tidak sampainya jadwal tersebut, lanjut Sardi, juga dipengaruhi oleh minimnya jumlah tenaga penyuluh pertanian. Termasuk pula tidak idealnya rasio jumlah UPTD Pertanian yang ada.
“Dua desa dipegang oleh satu penyuluh, sementara idealnya satu desa satu penyuluh. Kemudian, lima kecamatan dipegang oleh satu UPTD pertanian. Sehingga, mestinya dilakukan pertemuan seminggu sekali menjadi sebulan sekali. Bagaimana akan terpantau,” ujarnya.
Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan Kehutanan dan Ketahanan Pangan (BP4KKP) Kabupaten Bekasi Daryanto mengakui kekurangan tenaga penyuluh. Permasalahan itupun diakuinya sudah disampaikan ke kementrian. “Memang saat ini satu penyuluh membawahi dua desa sedangkan idealnya satu desa satu tenaga penyuluh. Kita sudah usulkan terus ke kementrian untuk mendapatkan penambahan tapi saat ini belum bisa terlaksana,” katanya. (enr)


Pembahasan
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa pembangunan sumber daya manusia pertanian, termasuk pembangunan kelembagaan penyuluhan dan peningkatan kegiatan penyuluhan pertanian, adalah faktor yang memberikan kontribusi besar terhadap cerita keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia (Walgito, 2006). Khususnya dalam upaya pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 dan penurunan jumlah penduduk miskin perdesaan. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa investasi di bidang penyuluhan pertanian memberikan tingkat pengembalian internal yang tinggi. Oleh karena itu, kegiatan penyuluhan pertanian merupakan komponen penting dalam keseluruhan aspek pembangunan pertanian. Namun, ketika proses transformasi ekonomi menuju ke industrialisasi berlangsung, anggaran pemerintah untuk mendukung pembangunan sektor pertanian, termasuk penyuluhan pertanian, mengalami penurunan yang signifikan. Di samping harus menghadapi keterbatasan alokasi anggaran, menurut Mardikanto (1993) sejak akhir 1980-an kegiatan penyuluhan pertanian mengalami beberapa persoalan, antara lain:
a. Kelembagaan penyuluhan pertanian sering berubah-ubah, sehingga
kegiatannya sering mengalami masa transisi. Kondisi ini menyebabkan penyuluhan
pertanian di lapangan sering terkatung-katung dan kurang berfungsi. Semangat
kerja para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), yang status kepegawaiannya tidak
pasti, juga menurun.
b. Dibandingkan dengan kebutuhan, jumlah PPL yang ada kurang mencukupi,
demikian pula kualitas dan kapasitasnya. Umumnya pendidikan mereka hanya
setingkat SLTA sehingga kurang mampu mendukung petani dalam menghadapi persoalan pertanian yang semakin kompleks. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah
memang telah meningkatkan kemampuan mereka melalui berbagai pelatihan, namun
frekuensi kegiatan semacam ini cenderung masih kurang memadai.

Mulai tahun 2001, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah,
kewenangan di bidang penyuluhan pertanian dilimpahkan kepada pemerintah daerah (Herianto, 2005). Sesuai dengan tujuan otonomi daerah, pelimpahan kewenangan ini diharapkan mampu
meningkatkan kinerja penyuluhan pertanian. Sayangnya, secara umum kinerja penyuluhan pertanian justru cenderung makin memburuk, serta menunjukkan gejala kehilangan arah. Kendala yang dihadapi oleh penyuluhan pertanian dalam era otonomi daerah antara lain meliputi dan merupakan akibat dari:
a. Adanya perbedaan pandangan antara pemerintah daerah dan para
anggota DPRD dalam memahami penyuluhan pertanian dan peranannya dalam
pembangunan pertanian. Banyak daerah yang kemudian mengurangi peranan
kelembagaan penyuluhan pertanian menjadi sekedar sebagai lembaga teknis, tidak
berbeda misalnya dengan kelembagaan untuk perlindungan tanaman. Akibatnya, jenis
kelembagaan dan organisasi penyuluhan pertanian di daerah menjadi sangat beragam
dengan eselon yang beragam pula. Perbedaan eselon antara pejabat struktural (dinas)
dengan pejabat fungsional (penyuluhan) menjadi salah satu kendala untuk
melakukan koordinasi pelaksanaan program penyuluhan.
b. Kecilnya alokasi anggaran pemerintah daerah untuk kegiatan
penyuluhan pertanian. Hal ini antara lain mengakibatkan: Rasio antara jumlah kendaraan
operasional (sepeda motor) dengan jumlah PPL sangat rendah, akibatnya mobilitas
para PPL menjadi rendah pula. c. Ketersediaan dan dukungan informasi pertanian (teknologi, harga
pasar, kesempatan berusaha tani, dsb.) yang ada di BPP sangat terbatas, atau
bahkan tidak tersedia. Ironisnya, sejumlah koran, majalah dan leaflet banyak
terlihat menumpuk di Kantor Dinas Pertanian Kabupaten, tidak didistribusikan ke
BPP atau desa-desa.
d. Makin merosotnya kapasitas dan kemampuan manajerial penyuluh.
Akibatnya, frekuensi penyelenggaraan penyuluhan menjadi rendah. Program
penyuluhan yang disusun BPP lebih banyak hanya digunakan sebagai formalitas
kelengkapan administratif. Kalaupun dilaksanakan, proporsinya tidak lebih dari
50% dari sasaran program yang direncanakan.

Melihat kecenderungan yang terjadi saat ini, dapat dikatakan bahwa kegiatan penyuluhan pertanian menghadapi tantangan yang makin berat. Persoalan penyuluh tidak saja terletak pada faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah daerah yang umumnya tidak pro-penyuluhan pertanian, melainkan juga terletak pada faktor internal, khususnya yang berkaitan dengan profesionalisme dan paradigma penyuluhan yang dianut para penyuluh dan atau pemerintah daerah (Azwar, 2002). Terlepas dari berbagai persoalan tersebut, banyak pihak menyadari bahwa kegiatan penyuluhan pertanian masih sangat diperlukan oleh petani. Kondisi pertanian rakyat masih lemah dalam banyak aspek, sementara tantangan yang dihadapi semakin berat, jadi sebenarnya mereka justru memerlukan kegiatan penyuluhan yang makin intensif, berkesinambungan dan terarah (Hawkins, 2000). Untuk mewujudkan kondisi penyuluhan pertanian seperti ini memang tidak mudah, dan tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu singkat. Meskipun demikian, upaya-upaya perbaikan yang nyata perlu segera dilakukan, karena jika tidak, kinerja penyuluhan pertanian yang memang sudah mengalami kemunduran besar akan semakin memburuk.

Solusi

1. Penyuluhan Pertanian Melalui Internet
Seperti wacana pada tahun 2010 Kementerian Pertanian akan mendistribusikan 1.000 unit sarana Cyber Extension berupa komputer PC, printer dan modem kepada kelembagaan penyuluhan di tingkat provinsi, kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten/kota, dan Balai Penyuluhan tingkat kecamatan. Dengan tersedianya sarana Cyber Extension di Balai Penyuluhan tingkat Kecamatan, maka para penyuluh di lapangan dapat mengakses bahan informasi teknologi pertanian, khususnya teknologi tepat guna sebagai materi penyuluhan secara lebih cepat, murah dan efisien.

2. Memberikan Sekolah Penyuluh Lapang
Sekolah penyuluh lapang harus dilakukan segera karena jumlah penyuluh saat ini sangat tidak mencukupi. Bila hal ini hanya didiamkan saja makan justru akan berdampak buruk bagi perkembangan pertanian di Indonesia. Sasarannya adalah para pamong desa atau pemuda desa yang tidak punya banyak kesibukan untuk dididik dengan dibekali ilmu pertanian yang disesuaikan dengan perkembangan pertanian saat ini (Herianto, 2005). Maka dari itulah, sangat penting artinya sekolah penyuluh lapang guna mengisi kekosongan penyuluh. Karena masalah yang telah terajdi sejak lama ini harus segera diselesaikan dengan segera dan cepat.

3. Memberikan Jaminan (Gaji yang Layak) Kepada Tenaga Penyuluh
Kebanyakan para penyuluh pertanian menyoalkan masalah gaji yang sangat kecil, sehingga hal ini berdampak pada kecilnya minat seseorang untuk menjadi tenaga penyuluh pertanian. Anggaran pemerintah dalam bidang pertanian haruslah segera ditingkatkan guna dialokasikan dalam pengembangan sektor pertanian sebagai panglima pangan internasional. Apabila kesejahteraan penyuluh telah mampu dipenuhi maka akan semakin banyak minat seseorang khususnya lulusan perguruan tinggi bidang pertanian yang mau menjadi tenaga penyuluh pertanian.

Daftar Referensi :

Azwar. 2002. Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Ban, Van Den dan Hawkins. 2000. Komunikasi Bisnis, Buku Kedua. Edisi Bahasa Indonesia, Edisi Keenam. Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia.
Herianto. 2005. Komunikasi : Massa. Jakarta : Universitas Terbuka.
Mardikanto. 1993. Dasar-dasar Perilaku Individu. Surabaya : PT. Hanandu Gema Nusantara.
Mar’at. 1984. Suatu Konsep Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Radar Bekasi. 03 Mei 2011. Kurangnya Penyuluh, Petani Mengeluh. (Online). Diakses pada tanggal 08 Mei 2011
Teori Pembelajaran Sosial Bandura. 1977. Tim Dosen FISIP UGM, Yogyakarta.
Walgito. 2006. Komunikasi Dasar. UGM Press, Yogyakarta.

Kamis, 05 Mei 2011

Perubahan Sikap dan Perilaku Petani Terhadap Teknologi Pertanian

Selain faktor psikologis yang menentukan sikap, juga komunikasi sosial merupakan determinan paling dominan menentukan sikap seorang petani terhadap inovasi teknologi pertanian. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa suatu inovasi teknologi baru yang diterima individu petani melalui proses persepsi. Terbentuknya sikap seseorang menurut Mar’at (1984) yaitu dipengaruhi oleh faktor internal (fisiologis dan psikologis) dan faktor eksternal (pengalaman, situasi, norma-norma, hambatan dan dorongan). Menurut Baron dan Byrne, Garungan dan Mayers, dan Allport dalam Azwar (2002; Walgito (2006), mengatakan bahwa sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap yang saling menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif (komponen perceptual) yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan atau ide, keyakinan dan konsep. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu menyangkut perasaan seseorang yang dihubungkan dengan keyakinan, seperti rasa senang atau tidak senang terhadap obyek sikap.

Sedangkan komponen konatif (komponen perilaku), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap obyek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau perilaku seseorang terhadap obyek sikap. Perilaku petani terhadap adopsi teknologi jika teknologi tersebut memberikan manfaat sesuai tujuan yang ingin dicapainya.
Kenyataan bahwa sikap petani terhadap suatu inovasi teknologi dipengaruhi oleh faktor internal individu (karakteristik kepribadian individu) dan faktor internal (faktor-faktor di luar diri individu). Akan tetapi yang lebih dominan mempengaruhi sikap dan keputusan petani terhadap suatu inovasi adalah faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor eksternal meliputi norma-norma, kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi sosial, dan belajar sosial individu petani dalam sistem sosial. Proses belajar sosial yang sering dilakukan petani dalam menjaring informasi inovasi teknologi baru bersifat pembelajaran observasional.

Menurut Teori Pembelajaran Sosial Bandura (1977), pengaruh modeling menghasilkan pembelajaran melalui fungsi informatik. Individu dapat mencapai gambaran simbolis tentang aktivitas-aktivitas yang berfungsi sebagai pemandu untuk pelaksanaan tindakan yang sesuai. Sikap petani terhadap inovasi teknologi juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam (agro-ekosistem dan agro-klimat), ini adalah salah satu faktor yang mungkin disebut Mar’at (1984) sebagai “hambatan” yang merupakan salah satu variabel eksternal yang menentukan sikap terutama kesesuaian teknologi tersebut terhadap kondisi ago-ekosistem dan agro-klimat setempat.

Sikap yang dimiliki seseorang memberikan corak pada perilaku atau tindakan orang yang bersangkutan (Walgito, 2006). Krech dan Crutchfield dalam Walgito (2006), mengatakan bahwa perilaku seseorang akan diwarnai atau dilatarbelakangi oleh sikap yang ada pada orang yang bersangkutan. Para ahli psikologi sosial memberikan pengertian tentang sikap yang sedikit berbeda-beda namun pada dasarnya semuanya bertujuan untuk mengetahui prilaku seseorang. Walgito (2006) mendefinisikan sikap adalah suatu organisasi yang mengandung pendapat, pengetahuan, perasaan, keyakinan tentang sesuatu yang sifatnya relatif konstan pada perasaan tertentu dan memberikan dasar untuk berperilaku.

Van den Ban dan Hawkins (2000) mendefinisikan sikap sebagai perasaan pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat parmanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungan. Dengan demikian komponen-komponen sikap meliputi pengetahuan, pendapat, pikiran, keyakinan dan perasaan-perasaan dan kecenderungan bertindak. Walgito (2006) mengemukakan bahwa sikap individu biasanya konsisten satu dengan yang lain dan juga dalam tindakan konsisten satu dengan yang lain. Akan tetapi bagi petani sikap dan tindakan bisa konsisten apabila inovasi yang diyakininya dapat memberikan manfaat dan keuntungan, apabila suatu inovasi tersebut tidak memberikan manfaat maka sikapnya dapat berubah pada inovasi yang lain. Perubahan sikap dapat secara langsung maupun tidak langsung.

Perubahan sikap secara langsung dalam arti adanya hubungan secara langsung antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, dan natara kelompok dengan kelompok. Sedangkan melalui hubungan tidak langsung adalah dengan perantaraan alat media komunikasi massa, baik cetak maupun elektronik (Walgito, 2006). Dalam psikologi komunikasi peranan media komunikasi (Mardikanto, 1993) menjelaskan bahwa media massa mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam perubahan sikap petani terhadap adopsi inovasi teknologi pertanian.

Dewasa ini banyak psikologi sosial berasumsi bahwa diantara faktor-faktor lain, perilaku dipengaruhi oleh tujuannya. Tujuan perilaku ini tidak hanya dipengaruhi oleh sikap seseorang, tetapi juga oleh harapan lingkungan sosialnya, terhadap perilaku tersebut, norma-norma subyektif, serta kemampuanya untuk melakukan perilaku itu, yaitu penilaian perilaku sendiri (Van den Ban dan Hawkins, 2000). Perubahan penerapan atau adopsi teknologi oleh petani dari sistem tradisional ke sistem modern merupakan salah satu bentuk yang namapk dari perubahan sikap dan perilaku petani. Perubahan sikap petani terhadap adopsi teknologi dipengaruhi oleh proses interkasi dan komunikasi dalam sistem sosial.

Untuk memperoleh informasi seorang individu petani selalu mengadakan interkasi, komunikasi, dan belajar sosial tentang suatu teknologi yang dibutuhkan. Teori Ronsenberg mengatakan bahwa sikap dapat berubah jika terjadi perubahan komponen kognitif dan komponen afektif. Apabila komponen kognitif berubah, maka komponen afektif akan berubah yang pada akhirnya perilaku juga berubah. Sebaliknya apabila komponen afektif, maka komponen kognitifnya juga berubah dan perilaku akan berubah (Walgito, 2006).

Afektif atau afek adalah suatu penilaian positif atau negatif terhadap suatu obyek (Azwar, 2002). Berkaitan dengan adopsi teknologi, seorang individu petani akan selalu menilai suatu inovasi teknologi terhadap kemampuannya, ksesuaian terhadap kondisi lingkungan, tujuan yang ingin dicapai serta norma-norma dalam masyarakat. Terdapat keterkaitan antara perilaku, karekateristik individu dan lingkungan.
Sehubungan dengan hal tersebut Kurt Lewin merumuskan model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi dari karakteristik individu (P) dan lingkungan (E) (Azwar, 2002; Walgito, 2006). Hal serupa juga dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein dalam Azwar (2002) yang mencoba melihat perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri dengan berdasarkan pada asumsi-asumsi (a) bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal; (b) bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada; (c) bahwa secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka.

Daftar Referensi :
Azwar. 2002. Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Ban, Van Den dan Hawkins. 2000. Komunikasi Bisnis, Buku Kedua. Edisi Bahasa Indonesia, Edisi Keenam. Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia.
Herianto. 2005. Komunikasi : Massa. Jakarta : Universitas Terbuka.
Mardikanto. 1993. Dasar-dasar Perilaku Individu. Surabaya : PT. Hanandu Gema Nusantara.
Mar’at. 1984. Suatu Konsep Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Teori Pembelajaran Sosial Bandura. 1977. Tim Dosen FISIP UGM, Yogyakarta.
Walgito. 2006. Komunikasi Dasar. UGM Press, Yogyakarta.

Selasa, 03 Mei 2011

Suatu Konsep : Peran Strategis dan Tanggungjawab Mahasiswa

Mahasiswa adalah para pelajar yang sedang menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi/universitas/institut/akademi yang sebelumnya telah menempuh pendidikan dasar dan menengah (SD-SMP-SMA). Perlu diketahui bahwa mahasiswa dalam keberadaannya memiliki suatu tanggungjawab atas klaim dirinya sebagai insan intelektual. Setidaknya ada empat pihak yang harus diberikan pertanggungjawaban oleh mahasiswa, antara lain : Dosen dan Institusi Kampus, Organisasi, Orangtua dan Rakyat. Empat pihak tersebut tidak pernah menuntut mahasiswa dalam hal apapun, namun mahasiswa sendiri itulah yang harus bertanggungjawab kepada pihak-pihak tersebut.

Dosen dan Institusi Kampus
Setiap mahasiswa yang duduk di perguruan tinggi manapun tentunya diwajibkan untuk hadir dalam setiap pertemuan perkuliahan bahkan terkadang disebutkan minimal 80% kehadiran untuk dapat menempuh UTS dan UAS. Hal itulah yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa, tidak peduli alasan apapun. Seorang aktivis yang benar-benar memikirkan jalan kedepannya pastilah akan mentaati hal ini, biasanya para aktivis yang kebablasan mengatakan “Jangan sampai kuliah mengganggu organisasi”. Hal tersebut apabila terus berlanjut justru akan menghancurkan masa depan diri sendiri. Tugas dari dosen pun memang diciptakan sebagai treatment untuk mahasiswa agar mencapai hasil maksimal. Walaupun terkadang berat dan saya sendiri pun juga ingin protes tentang hal ini, ilmu eksak pasti tidak jauh dari take home, laporan praktikum, studi kasus, dan tugas-tugas lain. Ada jam praktikum yang dibimbing oleh asisten praktikum dan tentunya berdampak pada laporan praktikum yang kebanyakan harus ditulis tangan. Harus diketahui juga bahwa terkadang dosen memberikan kuis mendadak setiap selang waktu dalam jam perkuliahan. Yang paling dahsyat adalah nilai UAS dan UTS yang diselenggarakan dalam 1 hari presentase dalam nilai akhir sangat besar, saya pun juga seperti tidak nyaman dengan sistem ini. Yang terakhir harus diperhatikan adalah nilai akhir praktikum bagi mereka mahasiswa eksak. Ini semua adalah hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjadi mahasiswa yang sukses dan bermanfaat (Seperti nama kabinet saja, haha).

Organisasi
Keberadaan organisasi di kampus adalah untuk mahasiswa, oleh mahasiswa dan dari mahasiswa itu sendiri. Ada berbagai macam organisasi pada Lembaga Kedaulatan Mahasiswa (LKM) di kampus dan memang setiap organisasi ada karena dihidupkan kader-kader yang berada didalamnya. Setiap manusia pada prinsipnya memiliki suatu pemahaman yang berbeda terkait suatu hal dan hal itu yang kemudian menyebabkan idelisme mahasiswa. Pilihan organisasi sangat ditentukan oleh idealisme seorang mahasiswa. Mereka yang religious pasti banyak memilih menjadi aktivis dakwah kampus, mereka yang nasionalis, sosialis dan lain sebagianya memiliki tujuan berlabuh pada organisasi tertentu. Pada tataran itu, mereka yang telah masuk kedalam lingkup kegiatan kampus dan identik dengan pergerakan mahasiswa sering menamakan dirinya sebagai AKTIVIS. Mereka memiliki peran dan tugas tertentu pada posisi tertentu pula dan itulah yang harus dipertanggungjawabkan. Ketika telah memilih pada suatu organisasi maka kader tersebut harus konsisten dengan pilihannya. Baik dalam melaksanakan event / kegiatan mahasiswa maupun dalam melaksanakan pelayanan untuk mahasiswa. Organisasi menjadi titik berat penekanan cinta Almamater, baik institusi kampus maupun organisasi itu sendiri.

Orang Tua
Mahasiswa memang mereka-mereka yang memiliki fokus tujuan untuk menimba ilmu di kampus. Masalah financial / keuangan sebagian besar masih dipikul oleh orang tua. Mahasiswa harus pandai mengelola keuangan yang diberikan yang kadang terbatas atas pengeluaran yang sering tidak terbatas. Orangtua pasti juga menginginkan putra putrinya yang dikuliahkan jauh dari rumah untuk bisa menjaga pergaulan agar tidak terjerumus pada pergaulan yang hedonis dan salah arah. Mahasiswa memiliki tuntutan moral untuk mempertanggungjawabkan IPK kepada orang tua karena setiap orangtua pasti ingin anaknya berprestasi dan tidak sia-sia mengeluarkan banyak uang untuk biaya perkuliahan. Yang kemudian harus diperhatikan mahasiswa yang sedang aktif mengenyam pendidikan adalah waktu kelulusan. Waktu kelulusan sangat dipengaruhi oleh kemampuan prestasi akademik namun berdampak pada keuangan yang harus diberikan orangtua. Semakin lama seseorang tinggal di suatu tempat yang jauh untuk mengenyam pendidikan tinggi maka biaya yang dikeluarkan untuk itu juga besar. Kepercayaan orangtua pun harus dijaga dengan baik oleh mahasiswa yang tinggal jauh dari orangtuanya, karena sekali orangtua merasa terkecewakan maka untuk mendapatkan kepercayaan selanjutnya sulit.

Rakyat
Keberpihakan pada derita rakyat kecil, adalah hal yang harus selalu dijaga oleh mahasiswa sesuai dengan salah satu point pada Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu “Pengabdian Kepada Masyarakat”. Pengabdian kepada masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara dalam penyelenggaraan kegiatan semisal : Bakti sosial, Konsultasi gizi, Donor darah, Advokasi hukum gratis, Pembelaan pada hak-hak anak dll. Nasionalisme yang tinggi harus terus dilakukan untuk membantu memikirkan permasalahan bangsa yang lain. Dalam hal pembangunan dan pengentasan kemiskinan seminimalnya mahasiswa harus mampu menyampaikan aspirasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Mahasiswa lahir dari rakyat dan kelak juga harus mengabdi untuk rakyat, hal itulah yang juga merupakan salah satu konsep dari Tri Dharma Perguruan Tinggi seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Hambatan-hambatan
Beberapa hal yang dapat menghambat peranan mahasiswa yang strategis dan hambatan dalam mempertanggungjawabkan keberadaannya kepada berbagai pihak, antara lain :
1. Ketidakteraturan waktu serta buruknya manajemen waktu
2. Terjerumus pada paham/idealisme yang justru memperburuk kepribadian. Idealisme yang kebablasan justru akan membuat sekat-sekat dalam kehidupan mahasiswa di kampus
3. Hilangnya cita-cita dan tujuan utama (saat awal kuliah) akibat pengaruh hedonism (mengejar kesenangan semata
4. Kurangnya kepekaan sosial
5. Hanya terfokus pada satu tujuan saja yakni : KULIAH

Karenanya marilah kita mulai perubahan dari diri kita sendiri dan segera memahami tanggungjawab apa saja yang harus segera dilaksanakan dalam perencanaan panjang ke depan.

Hidup mahasiswa!!
Hidup rakyat Indonesia!!!

Senin, 02 Mei 2011

Catatan 02 Mei 2011

Hari ini begitu banyak obrolan mengenai hari pendidikan, aku sendiri juga mengobrolkannya. Lalu aku tanya beberapa temanku, “apakah kamu merasa terbebani dengan tugas-tugas kampus di fakultas ini?” dan ternyata kebanyakan dari mereka menjawab “Tidak”. Lalu aku berpikir, apakah sebenarnya hanya pikiranku saja yang membuat mindset pikiran bahwa aku kuliah dengan terlalu banyak tugas atau memang karena aku belum sepenuhnya fokus pada tugas-tugas kampus. Ya, mungkin… Dan itu semua membuat aku teringat kata-kata lucu salah satu temanku, “Hadehh… Kamu nulis laporan dari dulu-dulu kok belum selesai, candi prambanan aja semalem jadi !!” $#@%?). Berarti memang tugas kampus itu wajar dan tergantung kita menyikapi dan bagaimana mengatur waktu kita agar tidak terbengkalai. Begitulah kesimpulan sementara, mungkin sih… Aku juga bingung mana yang benar. :)P



Hari ini di jalan-jalan banyak mahasiswa yang turun aksi memperingati aksi hari pendidikan, tentunya untuk menyampaikan berbagai macam kritik kepada berbagai pihak. Kebetulan aku merasakan bagaimana turun ke jalan pagi ini menyerukan aspirasi yang memang ada pada diriku, merasakan menjadi masyarakat yang merdeka. Walaupun terkadang ada yang bilang aski turun ke jalan merupakan demokrasi yang kebablasan. Walaupun tidak sedikit teman yang bertanya apakah dengan turun aksi aspirasi akan didengar dan merubah segalanya? Apakah segalanya harus dilakukan dengan aksi? Serta mengapa harus turun aksi? Tentunya dengan berbagai kritik dan kata-kata. Sebenarnya ingin sekali aku menyadarkan kepada mereka akan suatu hal yang sempat terlupakan oleh mahasiswa, bahwa lebih baik berbuat satu hal yang pasti daripada hanya mengkritik orang lain yang sedang berusaha mengawali perubahan namun mereka tidak berbuat apa-apa. Ketika sebagian kecil dari mahasiswa yang turun aksi namun tidak didengar, bagaimana kalau tidak ada yang turun aksi. Beruntunglah mereka yang hari ini menghabiskan waktunya dengan mengerjakan banyak tugas kampus, sehingga mereka tidak harus tahu bagaimana nasib saudara kita yang tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Karena harus diakui bahwa pendidikan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri biayanya mahal. Ya sudahlah, begitulah pokoknya kisahku.



Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghibur diri, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kepenatan. Ketika tugas kita menumpuk, maka kemasilah buku-buku yang berserakan itu lalu menulislah. Menulis apa saja yang ada dalam pikiran, menulis apa saja yang bisa menjadi pengobat kebosanan. Lalu berjalan keluar dari sempitnya kamar kos dan memandangi sekitar, hingga merasakan lapar dan segera tersadar bahwa uang didompet tinggal Rp 6.000,-. Masih bisa untuk membeli nasi, walaupun besoknya harus menghutang teman. Sebenarnya siapa yang mau miskin, semua teman-temanku pun tidak ingin miskin. Sedikit melupakan tentang masalah-masalah itu. Kelak mungkin aka nada banyak mahasiswa aktivis yang kehilangan idealismenya karena takut miskin, mereka yang bersekongkol dengan tirani penguasa demi kemakmuran hidup yang sementara. Sejenak melupakan apa yang telah diperjuangkan. Itulah yang terkadang membuatku takut untuk mengisi cita-cita pada form-form biodata di kampus dan ketika ditanya oleh teman-temanku. Aku takut bercita-cita jadi menteri, ujung-ujungnya tersandung kasus dan di resufle. Aku takut bercita-cita jadi presiden, yang tidak amanah dan diturunkan oleh aksi ratusan ribu mahasiswa. Makanya, terkadang aku berpikir enak jadi orang pas-pasan saja seperti yang diceritakan guru fisika SMAku. Pas butuh motor ada uang buat beli, pas lapar ada makanan, pas sakit punya uang buat berobat, pas ingin jalan-jalan keturutan, pas butuh rumah bisa beli rumah dll. Hehe ^_^ memang kemiskinan itu sangat tidak enak, tapi kalau semua kaya siapa yang miskin? Kalau semua pegawai, siapa jadi petani? Lagi-lagi aku bingung disini, karena fenomena kaya-miskin itu adalah hal yang harus ada.



“Ayahmu ikut cheerleader ya? Karena kamu telah menggoyang-goyang hatiku” “Ayahmu tukang sate ya? Karena kamu telah menusuk-nusuk hati” dll. Kwakaka ^^ , itu kata-kata yang lucu di kelas hari ini. Aku sendiri suka dengan kata-kata gombal itu, karena memang lucu bagiku. Beruntunglah mereka yang telah menemukan pasangan masing-masing, namun sepertinya aku lebih beruntung karena menjauhkan diriku dari perbuatan maksiat. Setidaknya ketidaklakuan ini bukan karena Allah memberikan wajah yang jelek padaku, tapi karena Allah sayang padaku dan tidak ingin aku terjerumus pada perbuatan menyimpang. Haha :)P Cinta sejati itu datang ketika kita telah siap untuk mencintai dan kita telah benar-benar yakin bahwa cinta padanya semata-mata karena cinta kepada Allah. Dan tidak pernah ada salahnya berteman dengan kaum wanita, karena memang ternyata kaum hawa sangat rajin mengerjakan tugas-tugas kampus. Nah, dalam proses belajar yang baik kan kita harus menemukan teman yang rajin untuk membawa kita pada kesuksesan hidup. Maka sangat tepat jika kita memperluas jaringan pertemanan dengan wanita yang rajin-rajin dan suka menolong. Tapi kendati begitu, tetap harus lebih banyak teman laki-laki agar kita tidak melambai. Mungkin itu saja yang ingin aku tulis hari ini. Selesai.

Catatan Seorang Aktivis

Aku tidak bisa menulis apa-apa selain sebuah keraguan akan perkembangan kampus ini. Belum usai banjir dengan buruknya drainase, masih tingginya pencurian Ranmor akibat masih semrawutnya lahan parkir dan penebangan pohon yang seharusnya dipakai sebagai ruang terbuka hijau justru untuk ekspansi besar-besaran gedung. Tugasku sebenarnya hanyalah untuk menimba ilmu disini, hanya semudah itu saja. Tapi aku prihatin dengan mahasiswa yang harus membayar mahal beaya kuliah namun untuk wudhu saja harus antri panjang, untuk parkir motor saja harus adu cepat, untuk praktikum saja harus di gazebo-gazebo, untuk naik lantai 3 saja harus antri di tangga yang setiap pergantian jam kuliah harus berdesakan dan untuk berjalan didalam kampus saja harus menghirup asap-asap kendaraan yang makin parah saja. Aku hanya ingin berkomentar pada diriku saja tentang semua ini, semua ini hanyalah untukku sendiri.



Di kampus ini aku bukanlah siapa-siapa, aku hanyalah pemuda dari desa nan jauh disana. Pemuda yang tak begitu pintar, namun mampu melogika suatu lahan yang hanya 3 hektar dan dihuni 35.794 mahasiswa itu apakah ideal untuk suatu tempat menimba ilmu atau rumah kedua bagi mereka yang sering disebut : MAHASISWA. Bagaimana selanjutnya bila target 14.760 mahasiswa di tahun ini tercapai, aku lantas ingin melihat langsung bagaimana sepuluh ribu semut mampu hidup dalam 1 gelas air mineral yang tertutup. Mungkin aku hanyalah pemuda yang terlalu banyak acara, sehingga topik-topik yang tidak penting yang dibahas. Memang begitu kiranya diriku, yang mencoba menghitung 4x wisuda dalam 1 tahun dengan minimal 1000 mahasiswa dan membandingkannya dengan 14000 lebih masukan mahaiswa dan mengingat kata-kata “pemasukan lebih besar dari pengeluaran adalah baik” ya ya ya mungkin begitu pikiran bapak-bapak pejabat disana. Aku tidak tahu apa pikiran mereka dan aku memang tidak ingin tahu apa mau mereka, hanya saja aku tertimpa sial untuk mengetahui semua ini dan terpaksa harus mengkritik mereka walaupun diriku sendiri ditentang.



Setiap tahun menurutku pendapatan kampus ini bertambah besar, tapi sayangnya dana untuk kegiatan mahasiswa tetap sama saja dari tahun ke tahun. Aku bahkan sampai membayangkan ketika hampir 14000-an mahasiswa ini dibina pada awal masuk untuk pengenalan kehidupan kampus, bagaimana mengatur orang sebanyak itu dan bagaimana pula memberikan pelayanan yang terbaik pada jumlah besar itu. Kesejahteraan itu akan nampak pada sedikit saja jumlah namun mampu diratakan kemakmurannya, ketika jumlah yang besar dan terus dibesarkan itu belum mendapatkan haknya untuk mendapatkan kesejahteraan maka menjadi suatu kewajaran jika mereka meneriakkan rasa ketidakadilan dan penolakan!! Aku tidak bisa membayangkan jadinya bila fakultasku ini mengadakan jam kuliah malam akibat semakin terbatasnya ruang kuliah. Transportasi (mahasiswi yang tidak ada kendaraan, padahal gang tikus ditutup dan sekitar rumah kaca sangat gelap), Keamanan mahasiswa kampus, mengorbankan waktu istirahat mahasiswa dan peluang terjadinya pencurian kendaraan mahasiswa besar serta jam-jam kegiatan mahasiswa sore hari hingga malam (rapat kegiatan, event mahasiswa dll). Haha, mungkin begitulah analisa nakal pemuda sok dramatis ini, namun bila benar terjadi biarlah keadaan yang benar-benar berubah menjadi dramatis.



Sebenarnya siapa yang mau menjadi aku, tidak bakal ada yang mau. Lebih enak menjadi mahasiswa yang kalau selesai kuliah langsung pulang ke kost, setelah tidak ada kegiatan perkuliahan segera pergi dari kampus. Memang lebih enjoy menjadi mahasiswa yang apatis terhadap birokrasi kampus, sehingga pikiran mereka tidak akan pernah serius mengkritisi kebijakan. Memang lebih nikmat menjadi mahasiswa yang pasrah menerima segalanya yang diberikan kampus tercinta ini, yang penting tanggungan administrasi dan keuangan diselesaikan dan tinggal terima ijazah nantinya. Sungguh memang asyik menjadi akademisi sejati, tinggal ke perpus dan diskusi mata kuliah dan anti pada kegiatan kampus yang sepertinya sangat tidak penting. Tapi aku memutuskan untuk tetap disini, sebagai bagian tersendiri dari kehidupan mahasiswa yang umum itu. Aku adalah diriku, bukan garis ini garis itu dan aku sangat tidak peduli darimana aku berangkat. Yang terpenting bagiku adalah kebebasan untuk menjadi diriku dan menjalani apa mauku. Aku bukan milik kelompok manapun, aku bukan milik warna apapun, aku bukan siapapun. Aku adalah raja bagi diriku sendiri dan aku adalah penentang penindasan.